Sabtu, 24 Januari 2009

Memek merah Warni

Kaki itu terkaget namun lantas diam. Yang kudengar berikutnya adalah desah..

“Mbak.. Kok beginii.. Sih mbaakk..”

Geliatnya membuat aku sedikit menahan kakinya agar tak lepas dari kulumanku. Lidah dan bibirku merasakan kesat licin pori-pori jari kakinya. Aku melumatnya hingga kurasakan keringat tipisnya larut dalam ludahku. Aku menikmati dengan menelannya.

“Saya merinding mbaakk..” tanganku juga mulai mengelus-elusi betisnya.
“Aachh.. Enak banget siihh..” aku lega.

Mulai aku menggigit. Telapak kakinya kujilati dan juga aku menggigitnya. Dia benar-benar menggelinjang.

“Mbaakk.. Ampuunn.. Geli bangett..”

Kini mulai ada perlawanan. Namun bukan untuk menghindar. Itu perlawanan dalam geliat nikmat hasrat syahwat yang mulai menerpa sanubari Warni. Aku hanya semakin erat memegangi betisnya. Lidahku melata dan kugigit tumit Warni. Uucchh.. Tumit ini bak ujung telur ayam kampung. Begitu indah namun nampak begitu rentan. Dengan halus aku menjamahnya. Kulepaskan gigitan lembut di atasnya dan kembali keringat tipis tumitnya larut dalam ludahku yang langsung kusedot menelannya.

Sekali lagi Warni berontak menggeliat. Namun bukannya melawan. Geliatnya ternyata untuk mengubah posisi. Dia kini tengkurap. Dan yang kusaksikan adalah sebuah kejutan sensual. Lereng, lembah dan gunung muncul dari tubuh Warni yang setengah telanjang. Dari arah telapak kakinya yang sedang dalam pagutanku aku menyaksikan betis yang bak padi bunting kemudian menjauh nampak lipatan lututnya yang mengandung kerutan. Disana biasanya tersimpan aroma keringatnya. Lidah dan bibirku mulai melata naik.

Saat aku mulai menyentuh kemudian melepaskan jilatan serta sedotan kecil bibirku pada betis mulus itu,

“Adduhh.. Mbak Marini.. Enak bangeett.. Teruss mbaakk.. Enak bangett mbakk..”

Walaupun aku sudah menduga sebelumnya, namun suara desah dan racau Warni ini tetap merupakan kejutan bagiku. Aku merasakan bahwa kini sepenuhnya kegelisahan syahwatku telah pudar. Hasrat akan cinta sesama perempuan mendapatkan saluran dengan desah serta rintih Warni ini. Kini aku mulai meliar tanpa ragu. Aku sedot kuat-kuat betis itu hingga meninggalkan cupang. Warni menjerit,

“Mbaakk.. diapain akuu.. Mbaakk…” jeritan yang sangat indah merangsang syahwat telingaku.

Tanganku mulai meliar pula. Rabaan-rabaan kulepaskan pada pahanya serta gundukkan bokongnya. Aku terus melata, ciuman dan kenyotan bibirku naik merambah pelataran pahanya yang dduuhh.. Sangat mulusnyaa.. Rupanya semua ini merupakan sensasi bagi Warni. Dia menggelinjang hebat. Tubuhnya menggeliat-geliat menahan derita nikmat syahwat. Tangannya bergerak kebelakang langsung meraih rambutku,

“Mbakk.. Terusin Mbaakk.. Teruss mbakk.. Enak mbaakk..” ditarik-tariknya rambutku. Dia sepertinya ingin agar aku menciumi bokongnya. Ahh.. Warnii.. Jangan khawatir.. Aku akan menuju ke sana..

Tanpa lagi ragu aku menggiring wajahku menuju bukit kembar bokongnya yang terbungkus celana dalam putih ini. Aku memang ingin menikmati aroma bokong berikut celana dalamnya. Aku belum ingin melepaskan bungkusnya itu.

Aku langsung ‘nyungsep’ menenggelamkan wajahku ke bokong indah itu. Aromanya langsung menyergap hidungku. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk sebanyak mungkin menyedoti baunya yang sangat khas.

Ternyata naluria alami Warni berjalan sebagaimana seharusnya. Gejolak syahwat yang melanda berkat serangan ciumanku menuntun dirinya untuk bergerak nungging. Dengan kepala beserta dadanya yang merayap di ranjang dia nagkat pantatnya tinggi-tinggi. Ini artinya dia memberikan kesempatan padaku untuk sepuasnya menciumi maupun menjilati pantatnya. Dan tak mungkin kulewatkan.

Lidahku mencari tepian celana dalam itu kemudian menggigitnya. Dengan mulutku aku perosotkan celana itu hingga pantat Warni ter-ekspose putih telanjang. Melihat apa yang memang pasti kulihat aku langsung seperti kerasukkan. Aku menyaksikan sebuah paduan harmonis dalam bentuk nyata. Sebuah gundukkan licin tanpa cacat mengarah ke bawah. Nonok Warni menunjukkan cembung bibirnya berikut kelentitnya yang bak sayap kupu-kupu kembar menunggu kumbang menyentuhnya. Lidahku mengeluarkan liur.

Lebih naik lagi kulihat sebuah titik pusat yang diseputari keriputan lembut yang membentuk titik pusat itu. Aku pastikan itulah lubang dubur Warni. Ooww.. Kenapa lubang itu demikian mempesonaku?? Ahh.. Aku merasakan ada yang mengalir becek dari vaginaku.

Cairan birahiku tak mampu kubendung. Apa yang kusaksikan mendesaki cairan ini untuk merembes keluar. Aku memang telah sangat terangsang. Aku ingin selekasnya melepaskan jilatn-jilatanku. Aku ingin menikmati indahnya lubang dubur Warni di lidahku. Aku mulai melepaskan jilatanku.

Aku mulai dari bawah. Dengan mendesakkan mulutku ke vagina di selangkangannya aku menjilati bibir vaginanya itu. Aku juga telah merasakan adanya cairan yang lengket asin. Aku yakin Warni telah terbakar birahi. Aku semakin liar mendesaki kemaluannya. Aku menyedoti cairan lengketnya.

Kemudian ciumanku menaik aku merambati bukit terjal mengantar lidahku menuju lubang duburnya. Warni meracau dan merintih tak tertahan,

“Mbaakk.. Belum pernah aku nikmat seperti ini mbaakk.. Tolong Mbakk terusinn yaa.. Aku enak banget mbaakk Marini. Terus jilati ya mbakk..” ah entah apa lagi racaunya itu.

Duburnya tidak langsung kujilat. Aku membaui dulu. Hidungku mengusel-uselnya dulu. Aku ingin bau sebenarnya kutangkap sebelum terkontaminasi dengan ludahku. Aku merasakan bau yang hangat. Bau khas dan hangat dari lubang dubur.

Uselan hidungku pasti memindah alihkan aroma duburnya itu ke hidungku. Sesudah itu baru dengan penuh serta merta dan dahsyatnya nafsu aku menjilati lubang itu. Dduuhh.. Warnii.. Kenapa kamu cepat pinterr siihh.. Warnii.. Aku sayang kamuu.. Biar aku jilati lubang taimu aku mau dan sayang kamuu..

Tak kuduga, tiba-tiba Warni seperti kemasukan setan. Dia berteriak histeris dambil bangkit langsung memeluk aku,

“Mbakk, mbakk, mbaakk.. Gimana inii.. Saya jadi seperti inii.. Rasanya haus bangeett.. Tenggorokanku kering bangeett.. Mbakk.. Saya takuutt..” sambil nampah wajahnya merah, bingung dan ngap-ngapan.

Serta merta aku peluk dia. Aku ciumi pipinya, lehernya, dagunya kemudian bibirnya. Uuhh.. Ternyata dia langsung merangsek aku. Dia ‘terkam’ aku dan mencakar punggungku. Seperti serigala betina dia pagut bibirku dan melumatnya. Dia nampak sangat ‘kehausan’, dia ingin minum sebanyak mungkin ludahku, dia benar-benar tak terkendali. Keringatnya mengucur deras dari seluruh bagian tubuhnya.

Aku langsung mengerti. Semua hal ini adalah ‘first time’ bagi Warni. Dia mengalami ‘kekagetan syahwat’. Dia merasakan sangat nikmat namun sekaligus takut, ‘ada apa ini’, dia asing dengan nikmat yang melandanya. Dan ciuman-ciumanku menurunkan ‘tensi’nya. Dia nampak reda dan pelan-pelan menjadi tenang.

Saat telah kembali menguasai dirinya dia dengan ‘dalam’ membalas ciuman dibibirnya,

“Maafin saya ya Mbak.. Sungguh aku tadinya nggak ngerti lho.. Tetapi aduuhh.. Mbak Marini pinter sekali.. Aku merasakan enaakk bangett.. Aku pengin terus begini mbaakk…”

Ahh.. Aku jadi iba. Warni terlampau lugu. Namun aku juga nggak boleh setengah jalan. Aku melepasi baju dan rokku. Kini aku setengah telanjang, tinggal ber-BH dan celana dalam saja. Aku langsung menurunkan ciumanku ke dadanya, ke ketiaknya, ke tulang iganya. Dia terus bergelinjangan, namun tak mau berhenti,

“Teruss Mbakk.. Teruss..” dan aku menyambutnya.

Kini aku ‘ngusel-usel’ perutnya. Kujilati pusernya. Aku jilati pinggulnya. Tangan-tanganku mulai mencakar lembut paha-pahanya. Juga jari-jariku mulai menyentuhi bibir vaginanya. Syahwat birahi Warni menanjak tajam tanpa ’shock’. Dia tetap menjadi menguasai diri. Sesekali dengus desah dan rintihnya mengiba-iba. Aku yakin dia minta aku puaskan. Yaa.. Aku akan ke sana.

Lumatan bibir dan jilatan lidahku meluncur turun lagi. Aku menemukan rambut-rambut halus di seputar kemaluan Warni. Sangat nikmat menciumi gundukkan kemaluan sementara dagu atau pipi menyentuhi rambut itu. Kemaluan Warni sungguh mempesona. Sebuah bukit kecil merah ranum, ditengahnya ada belahan lembut dan lereng kecilnya. Dan lebih ke bawah lagi aku menemukan gelambir klitoris yang bak sayap kupu-kupu.

Merah bening mewarnai sepasang klitoris itu. Dan yang langsung menyergap aku adalah aroma pedesaannya. Kemaluan Warni sungguh wangi seperti akar pandan. Bibirkku langsung melumat tepiannya. Dan seketika pula rambutku terjamah tangan-tangan Warni yang meremasinya. Dia menahan gelegak syahwatnya. Serasa dia hendak mencabik rambutku dari kulit kepalaku. Rasa pedih menjadi penyedap birahiku dalam menjilat dan melumat-lumat vagina Warni. Sungguh dialah anak perawan desa. Dan ketika klitorisnya aku emut dan kenyot tak ayal pula dia berteriak nyaring,

“Aampuunn.. Mbak Marinii.. Jangann.. Hah.. Hahh.. Hahh.. Aammppuunn..” dia benar-benar gelagapan.

Oleh karenanya aku perlu diam sesaat. Aku kembali mengelusi pahanya pelan agar dia tenang lagi.

“Mbaakk.. Enak bangett.. Tetapi saya nggak kuat rasanyaa..”

Namun sambil mengucapkan ‘nggak kuat rasanya’ Warni merebahkan diri kembali dengan membiarkan memeknya berada di depan bibirku. Aku maknai bahwa dia ingin aku meneruskan apa yang telah aku mulai. Kini tanpa ragu aku langsung mencium kemudian melumati vaginanya. Desah dan rintihnya bertubi namun kuacuhkan. Lidahku sudah menyeruak jauh ke lubang vaginanya. Aku rasa cairan birahi Warni telah mengalir deras sejak awal tadi. Aku sepertinya menyedot kelapa muda. Cairan birahinya kuteguk-teguk dan kurasai asin kentalnya. Aku tak bosan melumati memek dengan wangi akar pandan ini.

Warni bergelinjangan. Dia mengangkat-angkat pantatnya. Rasanya dia berharap aku menusukkan lidahku lebih dalam lagi. Inilah bentuk kegatalan yang paling puncak. Yang kulakukan kemudian adalah menyedotnya kuat-kuat. Gelambir klitorisnya ku kenyot-kenyot dan menggigitnya kecil.

Kini aku gelisah, syahwatku demikian mendesaki wilayah vaginaku. Serasa pengin kencing. Keringatkupun mulai turun mengucur. Tubuhku memanas terbakar gelora birahiku sendiori. Aku merasakan kegatalan tak terhingga pada dinding vaginaku. Aku ingin menggaruk. Dengan apa?

Sementara Warni tengah mendaki puncak syahwatnya. Pantatnya naik turun dengan semakin tak terkendali. Gatal vaginanya untuk menjemputi lumatan bibir dan jilatan lidahku. Aku rasa beberapa detik ke depan dia akan histeris menyambut orgasmenya. Aku cepat bergeser menindih kedua tungkai kakinya. Aku pepetkan selangkanganku tepat ke salah satu lututnya. Aku menggesek-gesekkan vaginaku ke lutut Warni untuk menyalurkan kegatalan vaginaku. Warni abai. Dia hanya berurusan dengan orgasmenya yang semakin mendekat. Dan..

“Hoocchh.. Hhoocchh.. Hhaacchh.. Hhoocchh.. Mbak Marinii.. Ampuunn.. Mbakk.. Mbaakk..”

Dia peluk aku dengan tangannya yang juga mencakar. Barut-barut langsung menandai punggungku. Rasa pedih langsung kurasakan. Namun rasa pedih itu berbarengan pula dengan nikmat yang melanda aku..

Ahh.. Bisa jugaa akhirnyaa.. Aku dan Warni meraih orgasme secara bersama. Namun aku tak langsung berhenti. Aku masih menggeseh-gesekkan kemaluanku pada lutut Warni. Sementara puncratan cairan birahi Warni terus menderas keluar dari memeknya. Aku menampung dalam penuh mulutku. Aku meminumnya. Aku menelan rasa asinnya. Sungguh cairan perawan ini sewangi akar pandan dan mengingatkan pada legit air kelapa muda. Dd.. Duhh.. Duhh.. Warnikuu..

Demikianlah aku menikmati perawan Warni. Malam itu dia menjadi kekasihku sepenuhnya. Kami menjadi sepasang kekasih yang saling menikmati madu. Rasanya tak kenal waktu. Menjelang subuh baru kami terlena.

Pelampiasan syahwat sesama perempuan antara aku dan Warni berlangsung hingga Bu Mitro balik. Selama 5 hari tak ada waktu untuk yang lain. Kami saling memanjakan, memberi dan menerima dengan segala kepuasan syawati. Aku sangat menyayanginya dan sebaliknya Warni menyayangi aku.

Memang yang terbaik kemudian adalah mengakhirinya. Warni balik mesti bekerja untuk Bu Mitro dan aku kembali melayani Mas Aditya suamiku.

Tak kusangkal, pada waktu-waktu tertentu apabila ada kesempatan aku dan Warni kembali berasyik masyuk.

3 komentar: